Selasa, 18 Oktober 2016

TUGAS LAPORAN BACAAN A.TEEUW



`


TUGAS
PENGANTAR PENGKAJIAN KESUSASTERAAN

                           Judul      : Laporan Bacaan Buku A. Teeuw
                           Tanggal Penyerahan : 18 Oktober 2016





OLEH
ATILA SHELA YOLANDA
16017040


SASTRA INDONESIA
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016





PENDAHULUAN

       Buku yang dilaporkan adalah buku karya Prof. Dr. A. Teeuw. Berikut identitas buku yang dilaporkan sebagai acuan pengantar teori sastra.
 
  Judul buku                                : SASTERA DAN ILMU SASTERA
  Pengarang                                 : Prof. Dr. A. Teeuw
  Penerbit                                    :  PT. Dunia Pustaka Jaya
  Tahun terbit                              :  2003
   Cetakan                                   :   Ketiga
   Kota dan lembaga penerbit  :   Jakarta, PT Dunia Pustaka Jaya
   Tebal buku                              :   333

       Buku ini menjelaskan mengenai teori sastra, dasar-dasar ilmu sastra yang menyangkutsistem sastra yang melingkupinya, pengarangnya dan pembacanya kekhususan karya sastra itu sendiri, sejarah sastra dan perkembangan sastera.
       Materi-materi yang akan dibahas dalam buku ini yaitu:
Apakah Sastra? Bahasa Lisan, Bahasa Tulis, dan Bahasa Sastra ; Karya Sastra dalam   Model Semiotik ; Karya Sastra dan Bahasanya ; Karya Sastra dan System Bahasa ; Karya Sastra sebagai Struktur : Strukturalisme ; Penulis dalam Model Semiotik ; Pembaca dalam Model Semiotik ; Karya Sastra dan  Kenyataan ; Teks Karya Sastra sebagai Variabel dalam Model Semiotik ; Studi Sastera Lisan dalam Rangka Semiotik Sastera ; Teori Sastera dan Sejarah Sastera ; Sastera sebagai Seni: Masalah Estetika











I.                   APAKAH SASTERA?
Bahasa Lisan, Bahasa Tulis, Bahasa Sastera
1.Beberapa Masalah Peristilahan
            Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, sas dalam kata kerja turunan  berarti mengarahkan, mengajarkan, member petunjuk atau  instruksi. Sedangkan akhiran -tra biasanya menunjukkan alat dan sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.

2.Bahasa Tulis Tujuh Ciri
Pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan menunjukkan sejumlah keistimewaan yang cukup jelas membedakan dari bahasa lisan.secara ringkas ciri-ciri itu akan di uraikan sebagai berikut :
        1.       Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik pembicara maupun pendengar, kehilangan sarana komunikasai yang dalam pemakaian bahasa lisan memberi sumbangan paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya suatu komunikasai. Sarana itu di sebut suprasegmental, paralingual atau ekstralingual. Suprasegmental adalah gejala intonasi ( aksen, tekanan kata, tinggi rendahnya nada, keras lemanya suara).
        2.       Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis dan pembaca. Sedangkan komunikasi lisan kita banyak tergantung pada kemungkinan yang di adakan oleh hubungan fisik ; pendengar melihat gerak-gerik si pembicara, yang seringkali penting untuk menjelaskan apa yang di maksudkannya.Selain itu pula dapat memberi reaksi langsung yang penting bagi pembicara.
        3.       Dalam teks tertulis penulis tidah hadir sebagiannya atau seluruhnya dalam situasi komunikasi. Contohnya adalah karangan yang anonim, pembaca harus mencari informasi yang relevan hanya dari data tertulis saja.
        4.       Teks tertulis juga sangat mungkin makin lepas dari kerangka referensi aslinya. Penulis mengarang tulisannya berdasarkan situasi tertentu, situasi pribadi, situasi sosial, berdasarkan situasi dia sendiri sebagai pembaca.untuk menghindari salah faham, pengarang terpaksa secara eksplisit dan jelas menguraikan informasi kontekstual yang dalam situasi percakapan biasanya tidak perlu di eksplesitkan.
        5.       Pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau di bandingkan dengan pendengar dalam situasi komunikasi.tulisannya dapat di baca beberapa kali apabila di anggap penting. Tanggapannya pun dapat di tunda di pikirkan kembali sebelum di tuliskan.
        6.       Teks tertulis dapat di reproduksikan dalam berbagai bentuk. Yang berarti bahwa lingkungan orang yang terlibat dalam dalam tindak komunikasi dengan bahasa tulisan pada prinsipnya jauh lebih besar dan luas daripada  yang biasanya terdapat dalam situasi bahasa lisan.
        7.       Komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu dan juga segi kebudayaan. Kita dapat membaca hasil tulisan dari masa yang lampau, dari negri lain, dengan latar belakang kebudayaan yang lain sekali dari situasi kita sendiri.
3.Sastera dan Tujuh Ciri Bahasa Tulis yaitu        
 Tujuh ciri khas tersebut yaitu :
  1.      Karena kemungkinan untuk mengungkapkan sarana suprasegmental dan paralingual dalam situasi tulisan sangat terbatas, maka seorang penulis terpaksa mengusahakan perumusan yang seteliti dan setepat mungkin, dalm percakapan kalimat dapat di pakai secara tak karuan saja, karena setengahnya seringkali sudah cukup untuk pendengar yang cermat.
        2.    Dalam situasi bahasa tulis si pembicara bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak komunikasi, faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra, misalnya pemakaian kata ganti aku. Tetapi dalam tulisan  belum tentu kita tahu siapakah si aku yang kita temui dan ambiguitas tentang diri penulis yang tidak kita hadapi langsung.
        3.    Karena hubungan antara karya sastra dengan penulis tidak jelas, dengan sendirinya tulisan itu sendiri makin penting, menjadi pusat perhatian pembaca. Lepasnya karya sastra dari tujuan komunikasi biasa dan dari diri penulis menimbulkan macam-macam konvensi yang harus di kuasai seorang pembaca, agar dia dapat memahami karya sastra.
        4.    Diperkuat lagi dalam situasi komunikasi tulisan referen dan acuan, yaitu hal dalam kenyataan yang di tunjukkan dalam tindak ujaran yang biasa, mungkin tidak jelas dan samar-samar saja. Kita tertarik pada sastra karena nyatalah itu sesuatu yang lain dari komunikasi biasa.
        5.    Kemungkinan permainan konvensi yang makin ruwet, makin menyesatkan pembaca karena kompleksitas makna berhubungan juga dengan monumentalitas karya sastera.
        6.    Kemungkinan reproduksi dalam berbagai bentuk sangat penting untuk sastra sebagai faktor kebudayaan. dari segi reproduksi tulisan itu ada pula akibatnya. Pada satu pihak terjamin bentuk yang mantap, bertentangan dengan ucapan lisan.
        7.    Berkat menyimpan dan menyelamatkan sastera dalam bentuk tulisan dan menyebarluaskannya melampaui batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan kebudayaan, sastera menjadi gejala sejarah, dengan segala akibatnya.
            Sastera tidak identik dengan bahasa tulis, dari perbandigan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, jelaslah ketertulisan sastera menimbulkan akibat pada keadaan,potensi, dan interprestasi sasterera itu. Sastera tidak terbatas pada bentuk bahasa tulis. Maklum ada pula sastra lisan, baik dalam masyarakat tradisional, maupun dalam masyarakat modern. Sastra lisan pemakaian bahasa seringkali jauh lebih rumit dan terpelihara ataupun menyimpang dari yang biasa dalam bahasa yang sehari-hari.
        Kesimpulan yang penting dalam hubungan ini tidak ada kriteria yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra,  dan sebaiknya ada sastra tulis dan ada pula sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dengan bukan sastra harus di cari di bidang lain.

 II.     KARYA SASTERA DALAM MODEL SEMIOTIK
        1.     Sastera sebagai tanda termasuk bidang semiotik : De Saussure
                        Ferdinand de Saussure di akui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain : signifiant ( penanda ) dan signifie ( petanda ). Signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. De Saussure membicarakan beberapa aspek tanda yang khas : tanda adalah arbiter, konvensional dan sistematik. Arbiter berarti bahwa dalam urutan bunyi itu sendiri tidak ada alasan atau motif untuk menghubungkannya.
De Saussure menjelaskan pula bahwa bahasa bukanlah satu-satunya sistem tanda yang di pakai dalam masyarakat, ada berbagai sistem tanda lain. Ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda oleh De Saussure di sebut semiologi, atau ilmu tanda. Gagasan yang sama tlah lebih dahulu di kembangkan oleh Charles Sander Peirce, seorang filsuf Amerika, tetapi tulisannya baru kemudian di terbitkan.
        2.    Model bahasa Karl Buhler
            Sastra merupakan sistem tanda yang bertugas sebagai alat komunikasi antar manusia makin meluas dalam kalangan peneliti sastra.. Buhler pertama kali dengan jelas menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai gejala sosial. Berdasarkan organonmodell der sprache, model bahasa dengan memakai istilah yunani. 
Plato mengenai bahasa , organon berarti alat, sarana, instrumen. Oleh Buhler hasil rangkap tiga yang di akibatkan oleh bahasa : Ausdruck, Appell, Darstellung. Buhler menjelaskan bahwa tiga fungsi tersebut tidak selalu sama pentingnya dalam situasi komunikasi.
        3.    Model sastra Abrams
Abrams meneliti teori-teori mengenai sastra yang berlaku dan di utamakan di masa Romantik, khususnya dalam  puisi dan ilmu sastra Inggris pada abad ke-19. Abrams memperlihatkan  kekacauan dan keragaman teoritersebut mudah dipahami dan diteliti jika kita berpangkal pada situasi karya sastera secar menyeluruh. Abrams  memberikan sebuah keranga yang terkandung pendekatan kritis yaitu :
         a.    Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri.
         b.    Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan penulis.
         c.    Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang menitikberatkan semesta.
         d.    Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan pembaca.
            Istilah pragmatik menunjuk pada efek komunikasi yang seringkali di rumuskan dalam istilah Horatius. Seni harus menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan manis. Abrams memperlihatkan bahwa empat pendekatan itu seringkali dominan. Modelnya sangat mirip dengan organon Buhler.
        4.    Model Roman Jakobson dengan fungsi puitik
                        Roman Jakobson, seorang ahli bahasa dan sastera sejak tahun 1920 dalam karangannya memperlihatkan integrasi antara ilmu bahasa dan sastera. Pada konferensi mengenai style in language, di paparkan sebuah model dengan tujuan untuk menjelaskan poetic function of language, fungsi puitik dalam bahasa. Jakobson mnyejajarkan 6 faktor bahasa dan 6 fungsi bahasa. Phatic function di maksudkan potensi bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi ataupun kontak sesama manusia.
        5.    Model Charles Morris, disesuaikan oleh Klauss
              Charless Morris seorang ahli semiotik awal yang terkenal, yang kemudian di sesuaikan oleh Klauss. Model ini pada prinsipnya sama dengan Buhler, tetapi lain istilahnya. Model Morris-Klaus membedakan tiga dimensi dalam proses semiosis pada tanda yang dilambangkan lagi segitiga. Dimensi pertama adalah dimensi sintaktik, yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda yang lain. Dimensi sintaktik menekankan struktur instrinsik karya sastra sebagai sistem tanda. Sedangkan dimensi pragmatik melingkupi baik pengirim maupun penerima pesan. Dimensi semantik dalam model Morris-Klauss bertepatan dengan fungsi mimetik  atau referensial dalam model lain.
        6.    Model semiotik Morris disesuaikan oleh Foulkes
                        Foulkes terutama tertarik oleh peranan pembaca dalam proses komunikasi lewat karya sastra. Penelitian Foulkes, yang memperlihatkan si bahwa dalam masyarakat modern sikap dan peranan pembaca dipengaruhi oleh berbagai faktor artistik, sosial, politik dan ekonomi, sehingga tidak dapat diterima secara netral, objektif dan bebas menghadapi karya sastera itu sendiri.
        7.    Model yang di berikan belum lengkap
                        Sering kali penelitian yang menekankan aspek pragmatik, mimetik, ekspresif atau obyektif sangat bermanfaat dan penting kesimpulannya asal disadari bahwa studi sastera itu tidak lengkap dan sempurna. Secara ideal semua aspek karya sastra harus di ikutsertakan dalam penelitian. Tetapi keempat aspek tidak selalu sama pentingnya. Sesungguhnya model yang di berikan Abrams menunjukkan kekurangan dalam arti bahwa beberapa faktor yang penting dalam penelitian belum terlingkupi sama sekali.
       8.    Dua faktor lain yang perlu ada dalam model semiotik sastra : sistem bahasa dan konvensi sastra
                           Model Abrams menyarankan seakan-akan penulis dan pembaca dapat langsung berhadapan dengan karya sastera, tanpa halangan apapun. Ahli semiotik Jurij Lotman mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem pembentuk model yang primer. Jadi yang mengikat baik penulis maupun pembaca, tidak berarti bahwa keduanya harus mengetahui bahasa yang di pakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam keistimewaan struktur bahasa itu sendiri. Bahasa bukanlah satu-satunya kerangka acuan yang ada antara karya pencipta dan pembaca.
        9.    Pembaca sebagai variabel sosial dan diakronis
                        Dalam model Abrams tegangan yang terdapat antara keterikatan dan kebebasan penulis , baik terhadap system bahasa maupun system sastera. Dua faktor yang penting ditambahkan pada model ini, pembaca sebagai variabel social dan variabel diakronis.
                           Model Abrams audience yaitu abstraksi, tetapi mengingat kenyataan fungsi sastera jelaslah pembaca bersifat variabel. Faktor diakronis merupakan suatu hakiki untuk memahami denga baik makna dan fungsi sebuah karya sastera.
              10. Bentuk karya sastra sebagai variabel
Karya sastera bukanlah sesuatu yang stabil, tetap, tak terubahkan. Seorang ahli kritik  Shakesphare, fredson Bowers pernah menyebut pengaruh perusak yang tak kenal ampun yang menggerogoti sebuah teks sepanjang waktu penurunannya.
Dalam sejarah sastra ternyata bahwa setiap karya sastra berubah, karena berbagai faktor. Variasi sebagai ciri khas utama karya sastra. Variasi juga memainkan peranan yang penting dan khas dalam hal sastra lisan, yang biasanya tidak di selamatkan dalam bentuk tulisan.
        11. Masalah nilai dalam model semiotik sastera
               Masalah nilai sebenarnya peneltian termasuk bidang estetika sebagai cabang pengetahuan. Mukarovsky membicarakan dinamika multidimensional yang terjadi karena tegangan karya sastera dalam hubungannya dengan penulis, pembaca dengan kenyataan.
              Dalam tegangannya antara ikatan dan kelonggaran system bahasa dan konvensi sastera. Justru dinamika itulah yang dianggap mengakibatkan nilai keindahan, sesuai dengan keadaan kebudayaan pembaca yang bersangkutan
          12. Beberapa puitika alternatif abad pertengahan Eropa, Cina, India, Arab
             Pertama-tama Eropa memberikan pendekatan lain yaitu puitika Abad Pertengahan yang ukup menarik dengan situasi sastera se-Indonesia, baik didalam variasinya maupun dalam interaksi antara sastera lisan dan sastera tulis. Dari sastera Cina dikemukan pentingnya sastera sejarah sebagai kategori naratif utama dengan segala konsekuensinya.
             Dalam kebudayaan India dikembangkan teori sastera yang pada satu pihak sangat erat hubungannya dengan ilmu bahasa India berdasarkan cii khas bahasa Sanskerta. Hal itu lebih penting lagi bagi sastera dan teori sastera dalam kebudayaan Arab, terutama ditentukan oleh 3 faktor yaitu, kedudukan  al-quran dalam agama, posisi bahasa Arab dalam kebudayaan Arab dan interaksi antara pandangan orang Arab terhadap ide Aristoteles.      

 III.     KARYA SASTERA DAN BAHASANYA
        1.     Bahasa Sastra sebagai Bahasa Khas : Retorika, Stilistika
Bahasa sastera adalah bahasa yang khas , khususnya puisi menunjukkan bahasa yang special. Dalam ilmu sastera keistimewaan pemakaian bahasa , khususnya dalam puisi ditonjolkan. Retorika adalah kepandaian mengatakan sesuatu yang baik yang awalnya mengacu kepada pengetian kepandaian ahli pidato. Dalam  hal ini juga ditekankan aspek pragmatic yang memainkan peranan penting dalam retorika. Stilistika berusaha dan berhasil menetapkan keistimewaan pemakaian bahasa secara insidential. Tetapi tidak berhasil menerangkan apakah cirri khas bahasa puisi secara umum dan hakiki.
         2.    Fungsi Bahasa yang Disebut Puitik dalam Teori Jakobson
                        Kaum Formalis  ini tidak puas dengan penelitian sastra yang bersifat sosiologis dan psikologis ataupun bersifat sejarah. Roman , seorang ahli bahasa sudah merumuskan prinsip sastera yang sampai sekarang masih dianutnya. Puisi adalah  ungkapan yang terarah keragam melahirkannya. Sedangkan fungsi puitik bahasa ialah pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri, atau keterarahan ke pesan sendiri.
                          Jakobson menguraikan prinsip konstitutif ialah ekuivalensi. Ekuivalensi dapat tewujud dalam gejala yang beraneka ragam, ekuivalensi bunyi, dalam bentuk rima, aliterasi, asoansi.
         3.    Penerapan dan penggarapan teori Jakobson
Jakobson dalam studi khas mengandung analisis sajak tertentu memperlihatkan apa yang di maksud dengan ekuivalensi. Dan Jakobson  mengatakan prinsip ekuivalensi diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata.
Jakobson mengembangkan teori tentang kekhasan fungsi puitik dan prinsip yang mendasari puisi,yang sekaligus menjadi kerangka analisis struktural sebuah karya sastra seperti diterapkan oleh kebanyakan peneliti. Fungsi puitik menjadi dominan dalam sastra, namun tidak pernah berada dalam kedudukan terisolasi, Jakobson menunjukkan relevansi sastera dari segi kemasyarakatan.
         4.    Kritik Riffaterre atas pandangan Jakobson
                    Kritik terhadap pendekatan strukturalis yang khusus bersifat linguistik. Kritik itu datang dari berbagai pihak dan bermacam-macam sifat serta pendekatannya. Jakobson hanya memperhatikan aspek linguistik yang dalam atian terbatas. Dan mengabaikan aspek lain seperti aspek pragmatikdan ekspresif.
                  Riffaterre mengemukakan pendapat bahwa linguislah yang menentukan relevan dalam sajak. Yang menentukan makna sebuah sajak ialah pembacanya. Riffaterre mengajukan pendekatan yang bersifat semiotik, pertentangan antara arti dan makna yang memainka peranan terpenting dengan aspek mimetic dan aspe referensialnya.
         5.    Kritik sosiologis terhadap teori Jakobson : Mary Louise Pratt
 Pratt dalam bukunya sudah menjelaskan latar belakan pendekatannya. Tuntunan dasar yang di ajukan dalam buku tesebut adalah wacana sastera harus dipandang sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa tertentu. Jadi tidak ada bahasa puitik sebagai ragam bahasa khas, hanya ada pemakaian bahasa yang khas, yang biasa kita sebut sastera. Pandangan Pratt untuk penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam sastra titik tolak penelitian ilmiah bergeser dari pesan kepada pengirim, penerima dan konteks.
Dalam pendekatan ilmu bahasa yang terbaru ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pemakaian bahasa dalam situasi tertentu sebagian besar ditentukan oleh konvensi, kondisi dan aturan.
         6.    Teori sastra Pratt
Dalam bukunya Pratt meletakkan dasar untuk teori sastra yang tergantung pada konteks. Konteks ialah keadaan sosial dalam artian yang  luas dan memberikan tumpuan pada tindak ujaran. Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku dalam komunikasi kesastraan yaitu :
           a.      Pembaca telah menerima peranan sebagai audience dalam situasi menanggapi pesan sastera.  Peran audience yang tidak aktif ikut serta dalam komunikasi sudah tentu bukan peran yang khas untuk komunikasi lewat sastra.
           b.     Pembaca yang mulai membaca karya sastra telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan sembarang tulisan. Tetapi pembaca bersedia untuk menanggapi buku tesebut sebagai roman modern.
           c.      Pratt membicarakan cirri khas karya sastra yang di sebut tellability. Penyataan biasanya dipakai sebagai ungkapan yang ditujukan kepada lawan bicara dengan maksud meyakinkan tentang sesuatu. Tellability menjadi ciri khas sastra walaupun tidak secara eksklusif.            


         
         IV.     KARYA SASTERA DAN SISTEM SASTERA
   1.Bahasa sebagai Sistem Semiotik Primer
           Menurut Pratt karya sastera adalah contextdependent speech event, peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks. Membaca karya sastera harus siap secara mental  harus tahu lewat berbagai petunjuk konvensi social.Bahasa, sebelum dipakai penulis, sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik.
           Setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka. Sutardji Calzoum  memberontak terhadap kungkungan perlengkapan konseptual yang terasa seakan-akan dipakasakan dan membebaskan kebebasan penciptanya.
         2.    Karya Sastra dan Konvensi Budaya
Berdasarkan tulisan Roland Barthes yang mencurahkan perhatian pada konvensi budaya dalam sastera .Culler membicarakan masalah kode kultural. Masalahnya memang penting, khususnya pula untuk penelitian sastra Indonesia tradisional, tetapi tidak mungkin kita membicarakannya dengan panjang lebar dalam rangka ini. Dikatakan bahwa pemisahan konvensi budaya dari konvensi bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin atau tidak mudah dilaksanakan.
         3.    Konvensi Sastera
Istilah konvensi masuk bidang sastera dan ilmu sastera dari dunia hokum dan lewat ilmu-ilmu social. Masuk lewat orang romantik abad ke-19, khususnya Madame de Stael menentang konvensi social mau kembali kea lam tanpa konvensi yang mengikat secara social.
Dan ia telah menjadi penindasan universal, jadi konvensi dialami sebagai ikatan, kungkungan yang daripadanya kita harus membebaskan diri. Tetapi ironisnya pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Tetapi betapa kuat kita menentang adanya dan perlunya konvensi, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan.
         4.   Masalah Kompetensi Kesasteraan dengan Contoh Konvensi Puisi Lirik ( Culler)
                    Konvensi itu sangat berbeda-beda sifatnya, ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan spesifik.  Culler menyatakan bahwa karya sastra mempunyai struktur dan makna dalam kaitannya dengan suatu perangkat konvensi sastra, kompetensi kesastraan yang harus dikuasai oleh pembaca. Culler menyatakan sajak adalah pengutaraan yang mendapat arti hanya dalam kaitannya dengan sistem konvensi yang diakrabkan oleh pembaca.
Puisi lirik yang pada lahirnya dapat kita baca sebagai peristiwa insidental atau pengalaman individual. Khasus khas dari konvensi ini ialah bahwa puisi sering kali mengambil relevansinya dari maknanya sebagai perenungan atau pengamatan mengenai masalah itu sendiri.
  5.    Masalah Jenis Sastera : Teori Aristoteles
Aristoteles meletakkan dasar untuk studi jenis sastera.Kriteria yang dapat dipakai demikian berbeda sehingga sistematik yang dihasilkan ruwet. Ada aspek bentuk aspek isi, aspek teknik penceritaan, aspek pemakaian bahasa, aspek sejarah dan aspek sinkronis. Ada hal lain yang sering mengelirukan ataupun membingungkan. Ahli teori sastera mencoba menyusun system jenis sastera yang normatif.
          6.    Strukturalisme dan Masalah Jenis Sastra
Formalis Rusia mengakui dinamika sistem jenis sastra yang terus bergeser dan berubah, yang tidak tetap, sehingga tidak mungkin pula mendeskripsikannya sebagai taksonomi, sebagai klasifikasi yang langgeng.  
Menurut pendekatan ini karya sastra merupakan aktualisasi sebuah perangkat konvensi, aktualisasi yang sekaligus memenuhi harapan pembaca dan melangarnya karna inovasi. Penelitian sistem jenis sastra tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik:karya sastra selalu berada dalam ketegaan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya.
          7.    Masalah Sistem Sastra
Tentang sistem sastra dapat dikatakan sebagai berikut:
           a.    Sistem itu tak dapat bersifat longgar, lincah. Karena  karya sastra individual justru ditandai oleh penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma-norma. Ketegangan antara norma sastra yang kolektif dan penyimpangan individual adalah ciri khas sistem sastra demikian pula merupakan ciri khas individual karya itu sendiri.
           b.    Sebagai akibatnya,perbedaan antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa, tentu system bahasa tidak berlaku dengan kejelasan yang sama.. Sistem sastra secara prinsip mengabungkan unsur diakronik dan sinkronik. Dinamis diakronis merupakan unsure asasi dari system sinkronis, dan sebaliknya dalam diakronis ketegangan sistematik selalu dipertahankan.
                  Sebuah kaya sastera dalam manifestasinya yang konket dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak menunjukkkan unsure-unsur sistematiknya.tetapi mendeskripsikan secara konkret system sastera seluruhnya dengan segala ketegangan nya, dalam hierarkinya yang ruwet dan tergantung dai sekian banyak faktor.
         8.    Masalah Sistem Sastra Universal
Segala usaha untuk menyusu semacam system sastera universal, pankronis yang merupakan tipologi. Pendekatan Aristoteles yang pembagian utamanya epik lirik-drama sebagai bentuk sastra utama mengenai sastra.  Lebih terperinci  selalu menimbulkan masalah dan pertikaian paham antara para ahli.  Andre Jolles membedakan  Sembilan bentuk sastera yang sederhana  yaitu legend, saga, myth, riddle, proverb,case, memoir, tale, joke . berdasakan pembagian  utama ini kemudian dikembagkan menjadi system yang luas dan mendetail, penuh pengamatan penting dan menarik, walaupun sistematik umum Frye sukar diterima sebagai system sastera universal.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang teori Levi-Strauss, seorang antropologi Prancis yang mengembangkan teori yang sangat umit dan berliku-liku. Teori levi itu memang mengagumkan dan berpengaruh khususnya dibidang antropologi , tetapi harus dikatakan bahwa hasil yang konkret untuk penelitiankarya sastera sering kali sukar diperroleh dari studi mitologi Levi Strauss.
.          
V.      KARYA SASTERA SEBAGAI STRUKTUR: STRUKTURALISME
        1.     Teori Aristoteles mengenai Struktur Karya Sastra
Empat pendekatan terhadap karya sastra yang disarankan Abrams pada prinsipnya sama dengan model semiotik,yaitu pendekatan objektif, ekspresif, pragmatik dan mimetik. Menurut pandangan Aristoteles dalan tragedi action, tindakan, bukan character, watak yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan
. Empat sarat utama disebut order, amplitude, unity, dan connection. Order berarti urutan, urutan aksi harus teratur. Amplitude berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan dan kekomplekskan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik  ke nasib buruk atau sebaliknya.
Sedangkan unity berarti semua unsur dalam plot harus ada, tak mungkin tiada, dan tidak bisa bertungkar tempat tanpa mengacaukan ataupun membinasakan keseluruhannya. Connection berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu.
         2.    Struktur Karya Sastra dan Lingkaran Hermeneutic
Anggapan atau asumsi dasar bahwa kaya sastera, dan umumnya suatu uraian, merupakan keseluruhan yang bagian-bagian  analisisnya berjalinan menimbulkan masalah teori yang baik dalam ilmu sastera maupun filsafat dengan istilah lingkaran hermeneutic. Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Proses penafsiran kalau dipikirkan selalu menghadapi kesulitan metode. Proses interpretasi yang bertangga berdasarkan asumsi dan konvensi ataupun aksioma bahwa teks yang di baca mempunyai kesatuan, keseluruhan, kebulatan makna, dan koherensi instrinsik.
Untuk memecahkan  lingkaran hermeneutik dan mencari makna total sebuah karya sastra, setiap bagian dan anasir karya itu diberikan tempat selayaknya dalam penafsiran karya yang menyeluruh, dan sekaligus menyumbang aspek hakiki pada keseluruhan makna karya tersebut. Proses interpretasi yang bertangga didasarkan pada asumsi atau konvensi aksioma bahwa teks yang dibaca mempunyai kesatuan, keseluruhan, kebulatan makna dan koherensi instrinsik.

         3.    Kekurangan Minat untuk Struktur Karya Sastra pada Abad Kesembilan Belas
      Kritik sastra pada abad ke 19 menonjolkan pendekatan ekspresif sangat ditonjolkan. Penyair, jiwanya, kreativitasnya, genialitasnyalah yang menjadi pusat perhatian para pengkritik dan ahli sastera. Selain itu sejarah sastera yang sering juga mengabaikan karya sebagai keseluruhan makna.
    Pendekatan pada abad  ini melihat sastra pertama-tama sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas, terutama sejarah, agama, aspek kemasyarakatan. Hal itu diperkuat oleh karena peneliti sastra seringkali bekerja selaku penyebar agama. Sastera sebagai gejala kebudayaan yang mandiri masih kuang mendapat perhatian, baik di Barat maupun dalam penelitian sastera Indonsia.
         4.    Munculnya Minat pada Struktur Karya Sastera
                   Perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastera pada abad  ke-20. Pergeseran bidang ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik sekaligus sebagai sarana untuk pengetahuan lain kearah sastera sebagai bidang kebudayaan yang otonom.
                    Ferdinand Saussure yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diankronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronik. Makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur lain. Sifat bahasa utama sebagai sistem tanda ialah sifat relasionalnya, yang berarti keseluruhan reaksi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspeknya harus diteliti dan dipahami terlebih dahulu.
         5.    Aliran Formalis di Rusia
Dictator Rusia menganggap pendekatan formalis bertentangan dengan ajaran-ajartan Marxis.  Teori ini mengalami perkembangan antara tahun 1915 dan 1930 yang cukup pesat sehingga tidak mungkin pendirian fomalis disimpulkan dalam satu rumusan saja.  Metode formalis dan aliran futuris terdapat persesuaian paham timbal balik yang bersejarah. Mereka mencari ciri khas karya sastra dari ungkapan bahasa lain. Ciri itu di sebut literariness. Menurut pendapat dan pengalaman mereka dalam  sebuah karya sastra aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan ciri-ciri khas hasil sastra itu.
Penelitian struktur naratif dalam roman atau cerita pendek Shklovsky mengembangkan oposisi antara fabel ( fabula ) dan plot ( sjuzhet ). Secara mimetik dalam karya sastra sering dimanfaatkan sarana mengasingkan karya yang disebut deotomatisasi. Kaum formalis deotomatisasi, ;penyimpangan dari yang wajar dianggap proses sastra yang mendasar. Secara sinkronik karya sastra menyimpang dari bahasa sehari-hari.  Nilai karya sastera terletak pada kebaruan dan orisionalitasnya.        
    6.    Pendekatan Struktural dan Gerakan Otonomi
Fomalis juga merintis jalan utuk pendekatan sejarah yang bersifat sturktural.  Teori-teori formalis diuraikan agak lengkap dengan sebutan strukturalis, formalis ataupun gerakan otonomi. Jadi yang meneliti karya sastera dalam otonominya, lepas dari latar belakang social, sejarah, biografis. Aliran strukturalis berkembang terus didunia Slavia dengan kelompok yag kuat di Praha (Mukarovsky, Vodicka). Kemudian berkembang lagi nama yang lebih modern di Rusia dengan Jurij sebagai wakilnya.
 Aliran ilmu sastera strukturalis agak lambat berkembang, setidak-tidaknya sebagai gerakan yang dominan kaena pengaruh Jean-Paul Sartre dan eksintensialisme yang sangat kuat, Sartre cukup sengit menentang pendekatan strukturalis. Di Indonesia ahli sastera dan pengkritik sastera yang pernah disebut kelompok ramawangun menekankan pula pendekatan instrinsik yang berdasarkan close reading itu sendiri.
       
           7.    Tentang Analisis Struktur Karya Sastra
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang  bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Keterpaduan struktur  total keseluruhan  makna yang unik, terkandung dalam teks terwujud, dan tugas serta tujuan analisis struktur justu mengupas semendetail mungkin keseluruhan makna yang terpadu.
Setiap karya sastera memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat dan strukturnya. Perbedaan analisis tidak hanya tergantung pada tebal tipisnya sebuah  karya sastera. Jumlah analisis terhadap karya sastera sangat aneka agam, yang diterbitka dimana-mana dan nampaknya pendekata structural terhadap karya sastera merupakan perolehan ilmu sastera yang langgeng.
         8.    Empat Kelemahan Strukturalisme Khususnya New Criticism. Konsep Struktur
            Kelemahan pendekatan struktural terutama berpangkal pada empat hal yaitu :
          a.   New criticism dan analisis struktur karya sastra secara umum merupakan teori, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
           b.   Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastera dengan latar belakang sejarah.
           c.   Adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis struktural.
           d.   Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu kehilangan relevansi sosialnya.
         Empat masalah atau keberatan utama terhadap pendekatan struturalis sering kali dergabung dalam aliran tertentu. Untuk memahami kritik New Cristicism dan analisis structural tidak berdasarka dengan teori sastera. Kritik Culler dan lain-lain terhadap New Cristicims terutama mencela kekurangan minat terhadap kompetensi literer. Culler sastra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan yang terus menerus mengenai pemberian makna dalam segala bentuknya, penafsiran pengalaman, komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman.
   9.    Pasca-Strukturalisme
Srukturalisme menitik beratkan struktur karya individual mengabaikan hakikat ilmu sastra. Pendekatan pasca-strukturalisme menunjukkan perbedaan paham adalah keterpercayaan terhadap bahasa: bahasa tidak mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek berdasarkan kenyataan. Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan yang hanya terdiri dari dan dalam  bentuk bahasa, sebagai dunia tanda. Tugas pemberian arti atau kritik teks ialah dengan mengadakan dekonstruksi , membongkar teks dengan mengembalikannya pada tesk lain.
         10. Prinsip Intertekstualitas atau Hubungan Antarteks
Prinsip ini diberi nama  intelektualitas, pertama  kali dikembangkan oleh peneliti Prancis Julia Kristeva. Prinsip ini  berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Culler menyatakan setiap teks terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks lain. Konsep intertektualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekedar memberi interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkrit.
        11.  Kenisbian Konsep Struktur, Peranan Pembaca Selaku Pemberi Makna 
Prinsip intertektualitas mempunyai konsekuensi untuk pandangan ilmiah terhadap struktur karya sastra. Sruktur karya sastera bukanlah sesuatuyang otonom dan objektif, yang dapat ditelti dan dianalisis lepas dari faktor-faktor dan anasir-anasir lain. Khususnya hubungan antara struktur kaya sastera dan peranan pembaca ternyata merupakan masalah yang sangat kompleks. Dan dikemukakan atas dasar konsep intertekstualitaas.
Antara analisis struktural yang obyektif dengan interpretasi makna karya sastra yang tergantung pada pembaca ternyata juga tidak tepat. Antara analisis struktural dengan interpretasi ada hubungan dialektik seperti antara bagian-bagian dan keseluruhan sebuah teks dan pembaca. Praha diwakili oleh aliran estetik resepsi, yang dipelopori oleh Hans Robert Jausz. Aliran ini mempunyai latar belakang ilmiah yang lain sekali, tetapi mereka mempunyai latar belakang ilmiah yang lain sekali, tetapi merekapun menekankan peranan pembaca selaku pemberi makna, sehingga konsep struktur dinisbikan artinya untuk ilmu sastra.
        12. Analisis Struktur dan Fungsi Kemasyarakatan Karya Sastera
Bagi Foulkes pendekatan New Cristicims tidak harus ditolak dari segi teori, karena tanggapan pembaca terhadap sebuah teks ditentukan oleh struktur dan analisis teks, melainkan situasi pembaca pun ikut serta menentukan analisis struktur dan proses pemberian makan.. Foulkes dianggap pula eliter untuk karya sastra dalam praktek berarti melepaskan karya dari fungsi dan relevansi sosialnya. Foulkes menyatakan aliran formalis dapat memberi sumbangan pada cara memandang yang menghilangkan makna yang sungguh-sungguh baik pada karya sastra, maupun pada peristiwa yang nyata. Menurut Foulkes pendekatan strukturalis malahan dimanfaatkan oleh kekuasaan yang ada pada golongan elit untuk menindas revolusi sosial, emansipasi wanita, orang hitam dan lain-lain.
Bagi Foulkes tidak dapat disaksikan bahwa pendekatan obyektif, dengan istilah Abrams, tidak mungkin dan tidak boleh dilakukan. Keberatan kritik Foulkes terhadap setrukturalisme menekankan aspek mimetik, yaitu keterkaitan antara kenyataan dan karya seni. Penekanan aspek mimetik tidak berarti bahwa analisis karya tidak dianggap penting atau layak lagi.
       13. Strukturalisme Genetik
Goldman  mengemukakan bahwa setiap karya sastera  yang penting mempunyai structure siggnificative yang bersifat otonomi dan imanen yang harus digali oleh peneliti berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann stuktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai  wakil golongan masyarakatnya . dalam  arti ini karya sastera dapat dipahami asalnya dan terjadinya dari latar belakang struktur social tertentu. Maka itu varian stukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik yang menerangkan karya dari homologi, persesuaiannya dengan struktur sosial.

 VI .    PENULIS DALAM MODEL SEMIOTIK
   1.     Longinus dan Aspek Ekspresif Karya  Sastra
Puitik Aristoteles ditekankan terutama dua faktor model semiotik yaitu karya sastra sebagai stuktur yang menyeluruh dan karya sastra dalam hubungannya dengan  kenyataan. Seorang ahli Horatius dari Roma , dalam  Ars poetica menekankan aspek pragmatik: sastra harus memberi manfaat dan nikmat. Ciri khas yang menentukan seni sastera, tidak terikat pada gaya atau bentuk dan enis tertentu. Yang paling penting untuk longinus adalah unsure kreatif dalam jiwa penulis.
Menurut Longinus yang merupakan syarat mutlak dan paling penting untuk penciptaankarya yang agung, tetapi gagasan itu seolah-olah tengelam berabad-abad lamanya. Abrams menyatakan tidak ada yang sama banyaknya menghasilkan keagungan seperti emosi mulia pada tempat yang tepat, emosi mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semacam keedanan dan semangat ilahi.
          2.    Abad Pertengahan: Manusia Selaku Pencipta Meneladan Ciptaan Tuhan
Menurut  Hans Robert Jausz yang kaya da indah dalam dunia klasik umumnya karya seni diangap sebagai tekhne, kepandaian atau kemahiran yang memang tinggi. Namun selalu harus ditempatkan alam menjadi taladan, yang mau tak mau harus diikutu seniman.
 Menurut sejarahnya penciptaan puisi dan seni dapat diperikan sebagai perwujudan gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara berangsur-angsur. Dalam rangka peneladanan alam, maupun dalam dunia masehi manusia hanya sebagai pembantu dan hamba tuhan. Jausz menyatakan penyair menjadikan baik alam kedua, maupun juga bermacam-macam peruntungan, serta akhirnya menjadikan diri seperti tuhan kedua.
          3.    Pengakuan Augustinus dan Pengakuan Rousseau
Jausz mempetentangkan kedua pengakuan ini sebagai titik awal dan titik akhir perkembangan pemikiran manusia Barat. Jausz menyebut empat pokok perselisihan antara dua pandangan tersebut yaitu:
         a.    Dalam confessiones Augustinus manusia digambar sebagai hamba yang takluk pada tuhan. Riwayat hidupnya hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya. Dalam les confessions Rousseau manusia adalah otonom, hanya takut pada hukum sendiri. Tujuan riwayat hidup adalah penemuan dan pengunkapan diri manusia yang unik.
          b.    Augustinus mempertentangkan tuhan yang tak berubah, tetapi yang mengubah segala sesuatu dalam alam semesta dengan riwayat manusia yang terpecah antara yang dahulu dan masakini, akibat dosanya manusia kehilangan keutuhannya. Sedangkan Rousseau mengajukan keutuhan dan keatuan riwayat hidup manusia, pada asalnya manusia tidak berdosa, hanya masyarakatlah yang merusak dunia manusia.
          c.    Augustinus mempertentangkan tuhan yang abadi, yang tak terikat pada waktu dan tempat, dengan manusia yang tak sempurna dan yang ingatannya dan pengetahuannya fragmentaris saja. Bagi Rousseau manusia sebagi individu mempunyai pengalaman dan penghayatan menyeluruh, melalui daya imajinasinya ia berhasil membayangkan keunikannya yang menjadi kebangaannya.
          d.    Kata Augustinus tuhan yang maha tahu, sedangkan manusia tidak mengenal dirinya. Tetapi bagi Rousseau manusia tahu beres, dialah maha tahu, dia dapat membenarkan dirinya sendiri, dengan menulis riwayat hidupnya dia dapat memeahkan masalah keselamatannya dan pembenarannya.
          4. Seniman Selaku Pencipta pada Zaman Romantik
                  Karya seni secara ideal mencerminkan kekayaan dan keindahan alam, sebagai iptaan tuhan. Jadi seni adalah pembayangan kenyataan yang terdapat diluar diri seniman. Ketika dunia model devolusi yang mengembalikan segala sesuatu ke ciptaan tuhan yang asli digantikan oleh model evolusi, dimana setiap penciptaan baru pada prinsipnya menjadi kemajuan dan penilaian sebuah karya seni sebagian besar bergantung pada kadar kebaruannya dan penyimpangannya terhadap kaya sebelumnya. Individualitas, orisinalitas,kreativitas, jenialitas semuanya adalah konsep dan istilah yang membayangkan visi manusia terhadap modern terhadap seni.
           5. Puisi Lirik Jenis Sastera Utama Pada Zaman Romantik
                    Bagi Aristoteles, dalam penciptaan teori sastera tragedy menjadi model utama, sebab pada zaman keemasan kebudayaan Athena tragedilah yang paling populer dan tinggi nilainya. Horatius cenderung ke pendekatan pragmatic pada waktu retorika menjadi penting dalam kebudayaan Roma.
            Dalam puisi lirik para pengkritik sastera romantic mendapatkan sarana yang paling baik untuk langsung menyelami jiwa penyair dan menjadi tujuan utama. Motif romantic inilah yang terus menerus menguasai puisi modern Indonesia, sampai ke Sutardji Calzoum Bachri, yang tetap bergulat dengan tuhan untuk memenuhi kerinduan dan kehausan jiwa.
    6. Menghilangnya Penulis dalam Sastera Naratif
               Aliran puisi Futuris menekankan bahasa sebagai alat, bukan sebagai penyair lagi dan dilahirkan pendektatan formalis. Penyair mulai menghilang, haus menghilangkan diri dibelakang kata. Untuk menghilangkan diri dari teksnya, ilmu sastera pun makin berusaha untuk meniadakan penulis sebagai faktor dalam proses semiotik.
   7. Masalah Pemahaman Teks dan Niat Penulis: Gadamer lawan Hirsch
             Masyarakat modern, bahkan berkuasa, kecendrungan untuk menghapuskan yang konkret dan individual, tetapi sastera dan seni mengambil hak utama dari konkretnya, dari kepribadian seorang manusia yang terungkap didalamnya. Tesis dasar Gadamer mengatakan bahwa sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarang nya. Tesis ini dikaitkan dengan pandangan bahwa teks tertulis adalah pemakaian bahasa dengan cirri khas.
            Menurut Hirsch, Gadamer membuat kekeliruan prinsipiil dengan tidak membedakan makna dan arti. Dalam kritik sastera diungkapakan penilaian arti dari segi pendirian, system nilai dan lain-lain pada pihak pembaca, yang sudah tentu relative subjektif dan berubah-ubah terus.  Tetapi  menyamaratakan arti dengan makna berarti meniadakan perbedaan antara pemahaman dan kritik.
   8. Kritik Mutakhir terhadap Penghilangan Penulis : Julh
             Dalam hal ini ditekankannya analogi dengan bahasa sehai-hari, yang sebagai komunikasi juga tidak ambigu, karena niat pembicaralah yang menurut konvensi komunikasi yang menentukan arti sebuah bacaan. Dunia referensial menentukan arti kalimat dalam situasi tutur biasa atas dasar petunjuk situasi justru pembinaan terserah pembaca tanpa pengarahan situasional oleh penulis.




VII.      PEMBACA DALAM MODEL SEMIOTIK
   1.Aspek Pragmatik dalam Retorika Barat dan Puitika Melayu
          Pendekatan sastera pragmatic dan sejarah kritik sastera sangat berpengaruh tidak hanya dalam sastera dan teori sastera Barat, melainkan juga dalam estetika yang lebih lua dalam pendidikan. Didunia Barat penekanan fungsi sastera untuk mempengaruhi pembaca mengakibatkan perbauran antara teori sastera dan retorika, yang berusaha meneliti setepat dan selengkap mungkin. Imu sastera modern aspek pragmatic mulai ditonjolkan, pangkal penekatan  modern berlainan dengan retorika. Dalam retorika ditelusuri sarana-sarana mana yang mengakibatkan tanggapan pada pihak pembaca atau pendengar.
   2. Resepsi dalam Strukturalisme Dinamik Mukarovsky
            Teori Mukarovsky tentang  karya sastera berpangkal pada aliran formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastera sebagai realisasi fungsi puitik bahasa. Bagi Mukarovsky karya ssatera tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks social lain. Perkembangan pemikiran Mukarovsky cukupberat konsekuensinya. Pembaca sebagai subjek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotic karya sastera daripada strukturnya. Mukarovsky meletakkan dasar untuk estetika sastera dalammodel semiotik dimana ada hubungan dinamik dan  tegangan terus menerus antara  keempat faktor pencipta, karya, pembaca dan kenyataan.
    3. Vodicka dengan Teori Konkretisasi Karya Seni
              Ingarden mengemukakan pendapat bahwa karya sastera mempunyai struktur yang objektif tidak terikat pada tanggapan pembaca dan nilai estetiknya tidak bergantung pada tanggapan pada norma-norma estetika pembaca yang terikat pada masanya. Ingader tahubahwa karya sastera mempunyai kemandirian terhadap kenyataan dan bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan gambar yang bulat dan setia membayangkan kenyataan.
   4. Teori Estetika Resepsi Jausz
                Menurut Jausz, peneltian sejarah sastera didunia Barat menemui jalan buntu, setelah mengalami beberapa tahap perkembangan yang penulisannya bersifat universal. Pendekatan dalam penelitian sastera, Jausz mengemukakan setidaknya dalam rangka ilmu sastera tradisional. Menurut Jausz para peneliti sastera juga dalam aliran Marx-is dan formalis melupakan atau menghilangkan faktor yang terpenting dalam proses semiotik yang disebut kesusasteraan yaitu pembaca.
     5. Masalah Estetik dalam Ilmu Sastera
               Selaku ahli sastera, pembaca tidak berurusan dengan nilai, peranan ahli sastera dan konsumen sastera tidak dapat dilaksanakan sekaligus. Sejarah sastera dalam pandangan ini mendapat relevansi dalam pengalaman estetik si peneliti yang dimungkinkan oleh pengetahuan sejarah yang mendahuluinya. Masalah estetika khususnya sehubungan dengan sastera tradisional dalam abad pertengahan cukup menonjol.
     6. Wirkung dan Resepsi
             Ingarden menjelaskan bahwa sastera tidak mengikat pembaca seratus persen. Pembaca diarahkan oleh apa yang diberikandalam bunyi dan makna kata teks. Ada hubungan yang erat antara wirkung dan rezeption. Rezeption dan sosiologi sastera ada kaitannya sebagai tumpang tindih,. walaupun kedua pendekatan ini prinsipnya berbeda. Sosiologi sastera menurut istilahnya adalah cabang sosiologi yang memanfaatkan teknik dan metode ilmu social, tetapi yang diterapka pada sastera.
            7. resepsi madame bovary sebagai contoh penelitian resepsi
                   Pembela Flaubert mengemukakan alasan yang menarik untuk membuktikan bahwa Faulbert tidak besalah, sebab berlawanan dengan yang dikemukakan oleh jaksa. Faubert dalam roman tidak mengeluarkan pendapat tentang tingkah laku si Emma yang telah berzinah. Tetapi menurut resepsi yang  diterapkan pada roman madame bovary bukanlah faulbert yang mengungkapkan penilaian tentang tingkah laku emma yang berdosa itu. Pembaca dihadapkan dengan enungan seorang tokoh cerita  yang penilaian moralnya terserah pembaca.
            8. Foulkes mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pembaca
                     Pandangan Foulkes  bukan tak berkaitan dengan aliran estetika resepsi. Bagi Foulkes penelitian karya sastera dalam rangka model semiotik mau tak mau harus mencurahkan perhatian penuh pada situasi pembaca. Foulkes sama dengan Jausz, menuntut agar penelitian dan pendidikan sastera membuka penilaian karya sastera klasik oleh pembaca.
             9. Penerapan Metode Penelitian Resepsi Sastera        
                    Pedekatan ini bersifat eksperimental, teks tertentu disajikan kepada pembaca baik secara individual maupun secara kolektif, agar membeikan tanggapan yang kemudian dianalisis dari segi tertentu. Disamping masalah metode, penelitian resepsi sastera lewat ekspeimen masih mempunyai kelemahan lain yang mendasar. Sebab penelitian resepsi eksperimental  hanya dilakukan untuk resepsi  masa kini, tetapi tidak menyanggupkan orang untuk meneliti resepsi yang dahulu ada.
              10. Penelitian Resepsi Lewat Kritik Sastera    
                    Vodicka menekankan peranan pengkritik sastera selaku penanggap yang utama dan khas. Yang menetapkan konkretisasi ,mewujudkan penempatan dan penilaian karya sastera pada masanya. Menurut Vodicka peneliti harus sada bahwa yang penting dalam pengkritik sastera bukanlah tanggapan individu. Baik mau mewakili norma sastera yang terikat pada masa tertentu  dan golongan masayarakat tertentu. Menyaksikan konfrontasi antara norma-norma dan cirri khas karya sastera yang konkret. Penelitian resepsi melalui kritik sastera pada prinsipnya adalah pendekatan yang menarik.
             11. Pendekatan lain Terhadap Penelitian Resepsi: Intertekstualitas, Penyalinan, Penyaduran dan Penerjemahan    
                         Dalam segi tertentu prinsip intertekstualitas dapat dikaitkan dengan resepsi karya sastera dalam teks tertentu  terungkap kreasi sekaligus resepsi. Penyalinan adalah penyalinan naskah, tulisan tangan yang diteliti oleh filologi. Penyaduran adalah proses yang diketahui dalam berbagai bentuk sejarah sastera. Penerjemahan dapat dipandang  sebagai bentuk resepsi  sekaligus diartikan sebagai kreasi, dan dalam sejarah sasteraterjemahan memainkan peranan penting sebagai inovasi.

 VIII.    KARYA SASTERA DAN KENYATAAN

     1.Teori Plato mengenai Mimesis
          Pandangan plato tidak lepas dai keseluruhan  filsafatnya mengenai kenyataan  yang bersifat hierarkis. Ada beberapa tataran yang melahirkan nilai-nilai untuk mengatasi tatarannya.  Bagi plato mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak meghasilkanyang sungguh-sungguh. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal yang ada dalam kenyataan tampak. Tidak ada pertentangan antara realism dan idealism dalam seni. Seni yang baik lewat mimesis yaitu peneladanan kenyataan dan mengungkapkan suatu makna hakiki kenyataan.
      2. Aristoteles Menyanggah Plato
           Anggapan terakhir Aristoteles ditentang dengan pandangan bahwa seni justru menyucikan jiwa manusia lewat proses penyucian. Aristoteles menolak pendapat Plato. Aristoteles yang tidak menerima filsafat ide Plato  dan system nilainya yang hierarki justru menonjolkan aspek positif dari mimesis. Karya seni Aristoteles menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek dan dikomunikasikan dengan jalan lain.
    3. Alam dan Seni dalam Berbagai Kebudayaan
              Visi Aristoteles dalam sejarah kebudayaan Barat umumnya diterima dari dasar estetika dan filsafat seni. Tidak berarti pandangan tentang seni sebagai mimesis dalam arti peniuan hilang. Hubungan antara seni dan kenyataan tetap menjadi masalahyang cukup sentral. Abad pertengahan pandangan ini berkaitan dengan anggapan tentang hubungan manusia dengan tuhan dan alam semesta  sebagai ciptaan tuhan yang lengkap sempurna tak cacat.
           4.    Kaitan Antara Mimesis dan Creatio dari Segi Bahasa
Teori mimesis pada prinsipnya mengangap karya seni sebagai pencerminan, penirauan ataupun pembayangan realitas. Peniliti sosiologi sastra dan peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai dokumen sosial.
 Peralatan konseptual yang di berikan dalam konsep sistem bahasa tidak langsung terikat pada kenyataan manapun juga dan memberi kelonggaran pada pemakainya untuk memanfaatkanya bagi angan-angan. Segi bahasa sudah jelas ada ambiguitas terhadap kenyataan. Ada peneliti yang berpendapat bahwa justru bahasalah yang memberi kmungkinan dan pembatasan pada kita untuk mengetahui kenyaataan.
    5.    Kenyataan dari Segi Sosiologi
Bahasa tidak hanya mengintegrasi berbagai bidang pengalamn sehari-hari menjadi keseluruhan yang berarti. Bahasa juga memungkinkan mengatasi kenyataan sehari-hari dan memindahkan kenyataan yang tidak nyata, kedalam kenyataan sehari-hari. Jadi dapat di katakan bukanlah kenyataan yang menentukan penafsiran kita terhadap kenyataan, tetapi penafsiranlah yang menentukan apakah dan bagaimanakah kenyataaan yang dapat kita lihat dan pahami serta cara kita melihatnya.
         6.    Sastra : Peneladanan dan Sekaligus Model Kenyataan
Culler mengatakan roman bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat  mana disendikannya dunia. Identitas kita tergantung pada roman. Roman adalah pelaku keterpahaman semiotik yang primer. Pertentangan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan nisbi ataupun pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung.
Konvensi tidak terjadi tanpa terpengaruhi oleh kenyataan. Kenyataan berpengaruh besar dan mengarahkan terjadinya konvensi bahasa sastra dan sosial. Tetapi sebaliknya pengamatan penafsiran kenyataan diarahkan pula oleh konvensi tersebut. Pembaca harus selalu bolak-balik antara kenyataan dan rekaan, antara mimesis dan creatio.
        7.    Roman dalam Ketegangan antara Kenyataan dan Rekaan
Roman sebagai bentuk sastera sering kali dianggap bersifat mimetik yang harus mendekati kenyataan. Dunia kenyataan dan dunia rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Secara faktual kaitan antara kenyataan diberikan setepat mungkin sangat berbeda-beda. Pemberian makna memerlukan bolak-balik antara kenyataan dan makna dibelakang dunia kernyataan.
Kenyataan diresapi oleh pemberian makna yang diharapka dari pembaca.
         8.    Masalah Realisme dalam Sejarah Sastra
Pengkritik sastra Sainte menuntut agar sastra secara setia menyajikan kenyataan, lagi pula tidak membatasi diri pada kenyataan lingkungan . Pendekatan ini diperkuat lagi oleh pengaruh ilmu pengetahuan . Zola menganggap perlu mengatakan penelitian ilmiah untuk roman yang ingin dituliskannya, dan dia juga berpendapat bahwa seorang penulis sastra harus jujur dan terus terang, sehingga hal yang paling jelek dan keji serta mengerikan yang terdapat dalam kenyatan tidak boleh ditiadakan atau disembunyikan.realisme mutlak dalam roman manapun juga tidak ada. Secara prinsip roman realis tidak berbeda dengan roman lain, ataupun dengan sajak lirik dalam karya sastra.
         9.    Roman Sebagai Dokumen Sosial ?
Adakalanya roman disebut dokumen social, dan sebutan ini ada benarnya, hal itu tidak berarti roman dipergunakan lansung sebagai dokumen. Karena tiap karya sastra ada keterpaduan antara kenyataan dan kekhayalan. Orang harus hati-hati daam usaha ingin mengambil fakta dari tulisan rekaan. Walaupun nampaknya tulisan itu harus realis. Karya rekaan memang merupakan dokumen sosial. Kebenaran lewat sastra pembaca seringkali jauh lebih baik dari lewat tulisan. Sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Sastra baik menciptakan kembali kemendesakan hidup.
   10. Kenyataan Dalam Puisi Lirik
Dalam lirik modern konvensi keterjalinanantara kenyataan dan rekaan lain lagi sifatnya.  Puisi lirik pada prinsipnya mirip dengan kenyataan. Menurut Kloos seni adalah ungkapan yang paling individual dari emosi yang paling individual. Puisi lirik baru dapat dipahammi dan nilai seluruhnya dalam kaitannya yang kompleks antara pengakuan yang paling individual si penyair lewat aku liriknya.
         11.  Kenyataan dalam Babad dan Sejarah
Sejarawan tertarik oleh masalah kebenaran sejarah dan berharap dalam teks bisa mendapatkan fakta-fakta sejarah yang dimanfaatkan untuk menulis sejarah  malaka, jawa.Pendekatan terhadap teks tradisional ini memang khas bersifat mimeti, mengharapkan sejarah dari teks-teks tertentu. Tetapi pendekatan mimetik ini tidak sesuai dengan sifat teks yang bersifat kesastraan. Rassers mendekati teks sejarah ini dari segi antrpologi, melihatnya sebagai pemberian makna. Pemberian makna secara mimetik dalam penulisan sejarah pasti keliru. Perpaduan serta tegangan antara mimetis dan kreasi adalah esensi teks, juga teks sejarah yang dibicarakan disini.
          12. Sastra dan Penulisan Sejarah
Aristoteles berpendirian bahwa sipenyair sebenarnya lebih ulung pekerjaanna daripada si sejarawan. Sejarawan yang mau tak mau terikat pada fakta-fakta yang kebetulan pernah terjadi. Sejarah harus ditulis kembali, terus menerus. Keobyektifan mutlak tidak pernah tercapai, karena beberapa hal yaitu fakta-fakta tidak pernah lengkap, penulis sejarah mau tak mau harus berlaku selektif, penulis itu sendiri adalah manusia yang latar belakang.
         13. Hayden White mengenai Sejarah dan Sastra
Hayden White berpendapat bahwa tulisan sejarah tidak hanya dari segi fakta yang diolah dan tulisan sejarawan harus bersifat subyektif atau relatif nilainya. Hayden lebih  prinsipil mempertahankan pendirian bahwa penulisan sejarah menurut esensinya tidak berbeda dengan sastra. Hayden berpendapat juga bahwa pandangannya tidak merendahkan derajat atau gengsi ilmu sejarah. Dengan menyadari bahwa dalam persepsi setiap sejarawan mau tak mau ada unsur rekaan.
    14. Sastera sebagai Alternative Terhadap Kenyataan
              Bagi ahli sastera antara mimesis dan creation, kenyataan dan rekaan saling berkaitan. Perbedaan dikemukakan oleh Aristoteles dalam tulisan sejarah peneliti mencoba memberikan makna pada peristiwa lewat pengumpulan dan pengupasan data-data yang digarap seteliti dan setepat mungkin. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastera adalah hubungan dialektis atau bertangga. Mimesis tidak mungkin ada tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Pembaca sastera yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternative terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserba kurangannya.

 IX.     TEKS KARYA SASTERA SEBAGAI VARIABEL DALAM MODEL SEMIOTIK
          1.     Kemantapan Sebuah Teks
Tesk karya sastera  adalah sesuatu yang konstan, mantap, tidak berubah sepanjang masa, sesuai dengan ciptaan penulisnyaMenurut Fredson Bowers pengaruh perusak karya sastra yang tak kenal ampun, yang menggerogoti sebuah teks sepanjang waktu penurunannya.
 Kenyataanya teks apapun juga cenderung berubah dan tak tidak stabil wujudnya sepanjang masa. Masalah ini yaitu karya sastra sebagai variabel, dengan konsekuensinya untuk fungsi karya sastra sebagai tanda dalam model semiotik. Dalam hubungan dan peranan pembaca serta faktor-faktor lain yang relvan yang ditimbulkan oleh model tersebut.
           2.    Filologi atau Tekstologi sebagai Studi Sejarah Teks
                   Istilah tekstologi akan dipergunakan untuk menunjukan studi sejarah teks. Sebuah karya mungkin tersimpan dalam beberapa versi, masing-masing diwakili oleh sejumlah naskah. Istilah teks dipakai secara umum untuk wujud sebuah tulisan.
Tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks yaitu :
          a.   tekstologi yang meneliti sejarah teks lisan
          b.   tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip
          c.   tekstologi yang meneliti sejarah buku catatan
Batas antara tekstologi buku dan tekstologi naskah tidak jelas. Tekstologi mengenai karya Shakespeare walauun pada prinsipnya berdasarkan edisi awal yang tercetak namun banyak menunjukan ciri khas filologi naskah.
         3.    Tekstologi Buku Cetakan
Gutenberg menemukan cara mencetak dengan huruf lepas,satu demi satu telah berhasi menciptakan tinta yang baik dipakai untuk pencetakan. Studi perkembangan pada masa itu masih merupakan pembauran antara tekstologi naskah dan buku. Bowers mengatakan pengkritik sastra harus menjadi njlimet, serta meninggalkan kepercayaan kekanak-kanakan pada kemutlakan kata cetakan.
          4.    Sebab Musabab Teks Cetakan tidak Mantap
Perubahan yang diadakan sebuah teks dengan sengaja. Dapat dibedakan beberapa hal yaitu :
            a.   Perubahan mungkin terjadi dalam hal transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem lain.
            b.   Penggarapan kembali sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang.
            c.   Sebuah teks cetakan diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit
            d.   Teks cetak yang diubah karena campur tangan sensor atau pembesar dengan alasan politik
   5.    Tekstologi Naskah Sedikit Sejarahnya
Metode yang dikembangkan oleh Lachmann berpangkal pada hipotesis bahwa sebuah teks pernah tercipta dalam bentuk asli yang unik dan murni. Tujuan utama filologi menurut mereka ialah memulihkan teks asli dan murni itu. Pada prinsipnya hubungan gagasan filolog dua naskah mempunyai sejumlah kesalahan bersama yang cukup besar dan relevan secara independen.
          6.    Filologi di Indonesia
             Filologi ala Lachmann sadar juga bahwa archetypos belum identik dengan tulisan asli teks yang diinginkan rekonstruksinya, tetapi berdasarkan induk yang direkonstruksikan emendasi. Dalam filologi Indonesia metode Ala Lachmann jarang diterapkan secara tepat. Prinsip edisi diplomatik yaitu dengan setia menerbitkan naskah sebagaimana adanya, dengan mengadakan perubahan dan perbaikan yang dianggap perlu sebuah komentar.
          7.    Kritik terhadap Filologi Tradisional, khususnya Metode Stemma
Metode stemma memperlihatkan pendekatan terhadap teks yang menekankan aspek ekspresif. Sikap peneliti tekstologi terhadap naskah juga berubah, makin disadari bahwa metode skemma baik dari segi teori maupun penerapannya menunjukan beberapan kelemahan. Satu prinsip utama skemma ialah adanya satu teks purba yang asli dan utuh, yang ditulis oleh seorang penulis.
Hipotesis yang mendasari metode skemma mengandaikan tidak ada kontaminasi, perubahan naskah. Naskah hanya diturunkan vertikal dari naskah yang merupakan induknya. Metode skemma pun tidak benar mutlak, malahan sering sangat meruwetkan.
          8.    Variasi Naskah : Korupsi atau Kreasi?
Filologi modern variasi naskah justru seringkali dilihat sebagai kreasi yaitu teks oleh penyalin di sesuaikan dengan perubahan dalam lingkungan sosio-budaya dimana salinan itu harus berfungsi menurut harapan pembaca yang menjadi sasaran naskah baru itu. Penelitian naskah memberi informasi yang relevan untyk mengetahui sejah dan resepsinya. Menurut Day setiap naskah harus diteliti, dibaca, dinikmati, dan dinilai atas dasar mutunya sendiri, sebagi hasil daya cipta seorang pujangga.
          9.    Sepuluh Dalil Lichacev untuk Tekstologi
            Sepuluh dalil tesis yang pernah dirumuskan oleh Lichacev sebagai pegangan untuk tekstologi dalam rangka dan sebagai hasil studi sastera Slavia lama.
               bunyi sepuluh tesis Lichachev yaitu :
              a.       Tekstologi ialah cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu sastra
              b.      Pertama-tama penelitian teks, kemudian penerbitannya
              c.       Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya
              d.      ada kenyataan tekstologi diluar penjelasannya
              e.       Kesaksian perubahan teks yang sadar diadakan secara ideologis, estetik, psikologi.
              f.        Teks perlu diteliti keseluruhannya
              g.       Bahan penyerta tekstologi dan suatu karya sastra dala satu kumpulan
              h.      Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain
              i.         Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria perlu diteliti
              j.           Rekonstuksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang di turunkan secara factual.

         X.      STUDI SASTERA LISAN DALAM RANGKA SEMIOTIK SASTERA
   1. Gayutan Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum
Alasan mengapa dianggap penting perhatian untuk untuk meminta perhatian yang khusus untuk bentuk sastra lisan. Alasan itu dapat diringkaskan sebagai berikut:
           a.   dalam situasi komunikasi sastera ada perbedaan antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dan penikmat.
           b.   Peneliti sastra lisan biasanya berlangsung dalam  rangka yang berbeda-beda dengan  ilmu sastra umumnya, yang didominasi oleh situasi sastera tulis.
          c.   Kerangka teori sastra sekaligus dapat dipakai untuk sastra lisan
          d.    tidak hanya kedua bentuk sastera yang  masih berdampingan, melainkan ada keterpaduan antara satu dengan yang lain.
  2. Minat pada Sastera Lisan di Eropa : Sedikit Sejarahnya
Sastera lisan diberikan oleh G.L Koster dalam rangka Indoesian Linguistics Developmant Project (ILDEP).  Minat pada sastera lisan di Eropa mulai timbul  pada abad ke-18 dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih luas, yang disebut Romantik. Puisi adalah cara berbahasa yang asli, dalam puisi yang disebut primitif kekuatan asli manusia yang mulai berbahasa masih diselamatkan, tetapi kemudian kemampuan itu makin pudar, dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan.Khususnya tulisan yang meniadakan anasir hakiki dari puisi. Penelitian ilmu folkor tidak terbatas pada cerita saja, tetai juga mengumpulkan data mengenai adat istiadat, kebudayaan kebendaan, dan lain-lain.
  3. Minat pada Sastra Lisan di Indonesia: Sedikit Sejarahnya
Van Der Tuuk tidak berminat pada sastera rakyat dari segi rakyat, tetapi bagi dia cerita rakyat sangat penting sebagai bahan untuk studi bahasa, dan dia menyuruh sejumlah informan untuk menulis sebanyak mungkin  cerita rakyat dalam bahasa mereka yang asli. Hanya sedikit dari bahan-bahan itu yang diterbitkan dalam bentuk buku.
P. Middelkoop tertarik oleh sastera rakyat dari segi keagamaan , menurut dia ada begitu banyak persamaan dari segi nilai agama dan nilai sastera antara puisi rakyat Timor dan nyanyian dalam kitab perjanjian lama.
  4. Perkembangan Penelitian Sastera Rakyat Kemudian Mazhab Finlandia
Metode dan teori historis komparatif secara sistematis mulai dikembangkan di Helsinki, oleh orang Finlandia, yang mulai berminat khusus sehubungan dengan studi epos nasional Finlandia. Masalah utama yang dihadapi peneliti ialah masalah klasifikasi dan organisasi bahan-bahannya.                  Untuk penggolongan cerita rakyat mazhab ini memakai dua konsep dasar yaitu type dan motif. Jadi cerita digolongkan menurut typenya. Sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dan tradisi. Prakteknya ternyata penggolongan tipe dan motif sangat sulit. Penggolongan ini sendiri tidak konsisten atau bersifat subyektifitas.
  5. Penelitian Propp Mengenai Dongeng Rusia
Propp dengan tegas membantah kualifikasi Levi Strauss seakan-akan dia seorang formalis dengan segala implikasi tuduhan bagi seorang peneliti Rusia setelah aliran formalis. Kritik Propp terhadap Mazhab terutama menyangkut sifat atomistis analisis tema dan motif.. Propp memerlukan analisis struktur folktale yang mencoba memastikan anasir hakiki setiap dongeng yang dibicarakannya. Berdasarkan analisis seratus dongeng secara singkat yaitu :
          a.   anasir yang mantap dan tak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya, melainkan fungsi tokoh tersebut
          b.   Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas
          c.   Urutan fungsi dalam setiap dongeng selalu sama
          d.   Segi struktur, semua dongeng mewakili hanya satu type saja
       Fungsi teori Proop adalah tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya..
         6.    Penulisan Puisi Lisan : Parry dan Lord
Milman Parry mencoba membuktikan  bahwa karya Homeros pada satu pihak memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi ora sezaman,berdasarkan konvensi sastera lisan. Ide baru Homerus yang dilancarkan Parry adalah untuk penciptaan karyanya memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya, yang siap dipakai sesuai dengan persyaratan mantra yang dimanfaatkan eposnya.
Beberapa kesimpulan penting Pary dan Lord mengenai epos Yugoslavia yaitu :
          a.   Epos rakyat  Yugoslavia oleh penyanyinya tidak dihafalkan secara turun temurun, melainkan diciptakan kembali secara spontan
          b.   Prestasi menciptakan karya yang panjang itu lebih mengherankan, karena perhatian skemma mantra yang harus dipakai cukup ketat, setiap larik harus terdiri atas sepuluh suku kata.
         7.    Penelitian Modern tentang Sastera Rakyat di Indonesia : Fox Sweeney
Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita Melayu sungguh profesional. Setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu. Masing-masing untuk cerita tertentu. Persamaan situasi tukang cerita Melayu adalah daya cipta dalam menggubah cerita ini. Tukang cerita yang baik dan pengalaman tiak menghafalkan teks yang mantap, tetapi setiap kali dibawakan diciptakan kembali. Fox membicarakan jenis puisi yang disebut bini, dan puisi keagamaan. Berdasrkan pola dasar yang sama berkembanglah kekayaan variasi masing-masing ada cirri-cii khasnya.

XI.       TEORI SASTERA DAN SEJARAH SASTERA
         1.     Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional
Ilmu sastra terarah pada sejarah sastra. Tetapi tidak berarti ilmu sastra bersifat kesejarahan. Sebab pendekatan historik terjelma dalam berbagai bentuk. Empat pendekatan yang utama yaitu :
             a.   Sejarah sastra ditaklukan pada sejarah umum, sehingga karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangkaa yang disediakan oleh ilmu sejarah umum
             b.   Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, gabungan dua kriteria.
             c.   Sejarah sastra yang memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
             d.   Lebih memperhatikan asal usul  karya sastra daripada struktur dan fungsinya.
                     Demikian pula penulisan sejarah sasteraIndonesia modern yang sungguh ilmiah dan memuaskan dari segi teori sastera. Terutama berfungsi untuk memberikan pengenalan untuk umum, bukan untuk ahli sastera
         2.    Prinsip Dasar Sejarah Sastera
Setiap karya adalah manifestasi sebuah sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai oleh pembaca agar karya yang dibacanya dapat diberi makna. Konvensi yang membedakanteks sastera dari bukan sastera dalam masyarakat tertentu.. Guillen mengembangkan konsep sastra sebagai sistem dan fungsi genre sebagai unsur hakiki dalam sistem itu berdasarkan studi yang sangat mengesankan mengenai perkembangan roman pikaresk sebagai jenis sastra.
         3.    Beberapa Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastera
           a.   Dinamika sistem sastra
Konsep jenis sastra yang modern bersifat dinamik, tidak starik. Hal itu disebabkan oleh pandangan karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Karya sastera tidak hanya melaksanakan  konvensi jenis sastera, melainkan sekaligus melampaui bahkan merombaknya. Norma dan konvensi jenis sastra tetap berubah, dan itulah termasuk hakikat sejarah sastra.
           b.   Pengaruh timbal balik antara jenis sastra
Fungsi jenis sastra tertentu tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri instrinsiknyatetapi pula oleh kaitan atau pertentangannya dengan jenis lain. Dalam sejarah sastra dapat dilihat transformasi teks tertentu dari jenis satu jenis ke jenis yang  lain. Sejarah sastra pada prinsipnya harus berpusat pada sejarah jenis sastra namun jenis sastra dan perkembangannya tidak boleh ditelusuri dalam isolasi.
           c.   Intertektualitas karya individual dan sejarah sastra
Hubungan yang ambigu antara karya individual dan norma-norma jenis sastra. Karya sastra sekaligus merupakan pelaksanan norma jenis sastra dan pelanggaran terhadap norma yang sama.       d.   Sejarah sastra dan sejarah umum
Hubungan antara perkembangan sastra dan perkembangan masyarakatlah dalam hubungan timbal balik, baik sastra itu bersifat afirmatif. Ricklefs mengatakan gejala yang sangat menarik dan penting, tetapi pengaitannya dengan perkembangan masyarakat umum pada waktu itu sulit.
          e.   Penelitian resepsi sastra dan sejarah  sastra
Resepsi karya sastra tidak hanya oleh para pembaca sezamannya, tetapi juga resepsi oleh angkatan pembaca yang menentukan makna dan nilai satu teks. Jausz memperlihatkan bahwa pergeseran penilaian karya sastra sepanjang masa merupakan sumber pengetahuan dan pemahaman karya sastra yang sangat penting. Anggapan pentingnya karya sastra lewat resepsi karya sastra sebagai faktor dalam sejarah sudah cukup luas diterima.
          f.   Sastra lisan dan sejarah sastra
Masalah pertama menyangkut sastra lisan dalam sejarah sastra. Sastra yang seluruhnya jelaslah menyangkut sastra oral sukar ditulis sejarahnya. Di Indonesia pun sastra lisan dari masa prasejarah sampai kini memainkan peranan yang penting. Sebagian besar sastra lisan itu hilang, tak berbekas. Sastra lisan yang masih ada sekarang adalah berkat usaha berbagai peneliti.
          g.   Sejarah sastra Indonesia dan sejarah dalam bahasa Nusantara
Hubungan antara sejarah sastra ekabahasa dan sejarah sastra se-Indonesia. Pentingnya bahasa sebagai sarana pengikat dan pembatas sastra sukar di sangkal. Sastra berkembang dalam suatu masyarakat bahasa, atas dasar pemahaman karya sastra sebelumnya. Namun tak dapat disangkal bahwa sistem sastra tertentu tidak tumbuh dan berkembang dalam isolasi mutlak.
         4.    Beberapa Saran dan Contoh tentang Penulisan Sejarah Sastra : Metode Penampang Sinkronik: Jausz 1857 dalam Lirik Perancis
Tidak ada satu pendekatan yang dapat dipakai untuk menulis sejarah sastra. Kekomplekskan masalah sejarah sastra hanya dabat diatasi dengan pendekatan yang  keanekaragaman. Satu pendekatan dari segi tekhnik penelitian memberi harapan akan hasil yang memuaskan dalam sirtuasi sejarah.  Puisi Baudelaire yang mendobrak cita-cita keindahan itu dan yang mencari yang indah dalam yang  uruk dan jahat. Baudelaire memecahkan norma puisi yang sekaligus mewakili ideologi.
Jausz berusaha mengaitkan antara situasi sastra dengan situasi kemasyarakatan. Jausz mendasarkan pandangannya mengenai dunia sosial pada teori sosiologi kognitif. Pendobrak horisan harapan pembaca menurut pandangan Jausz terbukti berkaitan antara lansung dan tak langsung dengan tegangan dalam sistem nilai sosial.
         5.    Kemungkinan Penerapan Metode Penampang Sinkronik di Indonesia
Hubungan instrinsik antara karya-karya dapat ditelusuri berdasarkan analisis instrinsik serta data ekstrinsik. Penelitian resepsi sastra secara agak luas dan representatif biasanya tidak mudah. Tetapi kaitan antara sastra dan keadaan oleh penampang sinkronik dapat di teliti. Pendekatan yang seragam dapat dibayangkan untuk  sastra Jawa baru, khususnya sastra yang tercipta dan dihayati pada kraton di Jawa Tengah.
         6.    Sejarah Sastra se-Indonesia
Dalam tulisan Teeuw  pernah dibicarakan teks-teks dalam bahasa Indonesia yang disebut historis atau genealogis. Penelitian sastra lisan dapat diperhatikan minat yang makin meningkat untuk masalah sejarah sastra. Baik dari segi teori maupun praktis. Berdasarkan konsep-konsep teori sastra dan pemahaman yang lebih tajam mengenai ciri khas karya sastra dan konvensi sastra sebagai sistem sinkronik. Sejarah sastrapun dapsat dikembangkan pada tataran yang lebih tinggi dan dengan perlengkapan konseptual yang lebih maju dan sempurna.

XII.       SASTERA SEBAGAI SENI: MASALAH ESTETIKA
          1 .     Ilmu Sastera dan Estetik
 Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup berbeda. Terutama dibicarakan masalah satra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaanya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa lain. Sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman untuk membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan.
         2.    Sedikit Sejarah Estetika Bastera Barat
Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkatdunia ide-ide, dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh  manusia. Para filsuf mendekati dunia ide lewat harmoni yang ideal.
 Plato secara tak langsung seni berhubungan dengan hakikat benda-benda. Seni sejati berusaha mengatasi kenyataan, dalam  bayang-bayang yang hina diusahakannya menyarankan sesuatu dari dunia yang lebih tinggi. Pemandangan mengenai seni dari segi estetik pada masa itu berdasarkan dua hal yang hakiki. Pertama persatuan mutlak dari yang baik, yang benar dan yang indah sangat lama menguasai estetik Barat.
         3.    Estetika Terlepas dari Norma Agama dan Etika
Norma-norma untuk estetik pada satu pihak terdapat dalam etik dan filsafat. Petratarca mengatakan memang secara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai sesuatu yang baru bagi dia pribadi. Pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca, penonton, pendengar. Menurut pendapat ini keindahan nilai estetik bukanlah sesuatu yang secara objektif terletak dalam karya seni. Penikmat menjadi pencipta serta. Obyek bambigu Jausz memperlihakan bagaimana kuno batas antara seni dan alam. Bahkan batas antara seni dan kenyataan menghilang.
          4.    Beberapa Pendekatan Estetika Indonesia : Melayu dan Jawa Kuno
Teori estetik yang eksplisit tidak diketahui dibidang sastra Indonesia yang tradisional. Ada konsepsi estetik yang secara implisit terkandung dalam sastra Melayu     klasik dalam puisi Jawa kuno. Teori ini digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian dipaparkan dalam setudi yang sangat menarik.
Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan melayu. Aspek ontologisnya yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bentuk puisi epik yang terkenal dalam sastra Jawa kuno mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair adalah semacam yoga.
Puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai seni dan terahir.estetik tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan pada fungsi agama. Lewat seni manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan diri dalam keagungan pesona itu.
         5.    Tegangan Sebagai Dasar Penilaian Estetika
Penelitian estetik harus mendapat tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum. Fungsi estetik adalah cara subjek melaksanakan diri terhadap dunia lahir. Fungsi estetik bukanah pertama-tama atau semata-mata kualitas karya seni secara obyektif. Perbedaan antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya sastra sebagai tanda.
Estetik menilai seni ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan sikap dan pengalaman seseorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah. Penikmat estetik tergantung pada tegangan antara yang baru dan yang lama. Tegangan adalah syarat mutlak dasar hakiki untuk penikmat estetik dan tegangan itu terjelma antara karya seni sebagai berian, dan penikmat sebagai variabel.
         6.    Tegangan Pertama : Fungsi Puitik Bahasa
Puisi lirik dan puisi epik berbeda konvensi bahasanya. Konvensi pemakaian bahasa dalam sastra mau mengharapkan sesuatu yang ekstra. Dalam sastra arti sehari-hari ditingkatkan menjadi makna semiotik. Entah disebut ambiguitas. Tegangan itu merupakan bagian yang hakiki dari penikmat estetik dalam sastra.
         7.    Tegangan yang Inheren pada Struktur Karya Sastera
Struktur karya sastra bersifat multidimensional. Ingarden membedakan lima lapis atau strata norma-norma. Bunyi, dunia kata sebagai satuan arti. Segi pandangan karya yang mungkin terungkap, lapis kualitas metafisik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam situasi tegangan antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang utuh. Tanpa tegangan semacam itu penilaian estetik pasti lebih rendah.
          8.    Variasi Karya Sebagai Sumber Tegangan
Kenikmatan estetik dipertinggi oleh pelaksanaan tegangan yang sangat fundamental. Pembaca biasa seringkali tidak sadar akan variasi dalam bentuk sebuah teks, sehingga dia menerima teks yang kemudian diperolehnya. Variasi sebuah teks yang sama dapat menimbulkan kegairahan yang khas. Variasi antara satu naskah dengan naskah lain mempunyai fungsi semiotik secara intertekstual. Bagi para ahli nilai estetik dapat dipertinggi oleh variasi yang  pada penglihatan pertama oleh orang awam.
         9.    Tegangan antara Konvensi Sastera dan Karya Individual
Pemahaman dan penilaian karya sastra pembaca tidak hanya diarahkan dan dibimbing oleh kemampuannya sebagai pemakai bahasa. Sistem konvensi itu sangat kompleks dan seringkali bersifat hirarkis. Hubungan intertekstual sebuah karya tidak sadari atau diketahui oleh setiap pembaca, dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya.

  10. Tegangan antara Mimesis dan Kreasi, atau Kenyataan dan Alternatifya
Ambivalensi karya sastra terhadap kenyataan merupakan prinsip dasar kesusastraan. Dalam kontfrontasi antara norma kenyataan dan norma alternatif mungkin timbul keterharuan, pengalaman estetik pada pembaca oleh karena disadarinya tegangan antara realitas dan impian hidupnya.
          11.  Situasi Pembaca Sebagai Sumber Tegangan
Pembaca setidak-tidaknya harus diperincikan dari dua segi yaitu sosial dan waktu. Pembaca sebuah karya sastra dapat berbeda mengenai latar belakang sosio-budaya. Penilaian karya sastra sebagian besar tergantung dari kaitan antara karya sastra pencipta dan pembacanya. Kaitan itu bersifat sangat eksklusif. Tegangan sosial yang terungkap dalam karya sastra mempertinggi penilaiannya pada golongan tertentu. Dan sebaliknya menjadikan orang lain membenci pada karya itu.
         12. Pemikiran Estetika dan Jarak Waktu
Jausz menyimpulkan bahwa si peneliti harus dan dapat berusaha untuk memperoleh penikmatan baru. Tegangan antara keasingan dan keakraban yang justru bagi teks ini sangat besar karena jauhnya jarak itu, juga memperbesar kemungkinan penikmat estetik. Tegangan itu malah merupakan syarat mutlak sebab karya sastra selalu sekaligus bersifat historik. Lewat usaha hermeneutik sastra lama tidak mustahil dikejar lagi nilai estetiknya. Dimensi sejarah dapat memperkuat penilaian estetik, karena waktu berfungsi sebagai jaringan, sehingga seleksi karya-karya dari masa lampau lebih  udah dilakukan oleh waktu itu sendiri.
      
       13. Tegangan antara Penulis dan Karyanya dalam Penghayatan Pembaca
Proses semiotik yang menyangkut karya sastra kita menghadapi sebuah komunikasi antar manusia di mana penulis, antara makna karya sastra dan pesan yang dianggap berasal dari tokoh penulis menunjukkan ambivalensi yang dalam hal karya konkrit ikut menentukan nilai karya sastra.